Tuesday, January 14, 2014

The 1st Short Story :D

(source: weheartit)

Hi Guys! It's nice to meet ya again! :D Okay, kayaknya ini adalah saat yang tepat untuk gue mempublikasikan cerpen yang udah gue buat. Sebelumnya, sori ya kalo ceritanya agak basi. Sebenernya ni cerpen pernah gue kumpulin untuk tugas Bahasa Indonesia, hope you'll like it ;)



Akankah?

          Selalu sama, itulah yang aku alami setiap harinya. Setiap pulang sekolah harus naik bus TJ (Trans Jogja) dan haltenya cukup jauh dari sekolah, tepatnya di halte depan Stadion Mandala Krida atau bahasa kerennya Shelter Mandala Krida. Ini aku lakukan karena saat aku pulang sekolah, kedua orang tuaku sama-sama masih harus bekerja dan pulangnya sore. Kadang kalau aku capek, capek banget, aku naik becak saja daripada berjalan kaki dari sekolah menuju Shelter Mandala Krida. Tapi hal ini cuma terjadi sampai aku kelas 8 sih. Kelas 9 ini aku tidak lagi sering naik TJ, karena aku lebih sering pulang sore, dan tentunya lebih sering dijemput bapakku, jadi aku tidak perlu naik bus lagi.
          Kau pasti penasaran kenapa aku menceritakan hal sebasi itu: pulang sekolah naik bus. Kenapa? Karena dulu, kelas 8, waktu aku masih pulang dengan naik bus setiap hari, ada cerita-cerita dibalik rutinitasku yang pastinya basi juga.
          Aku masih ingat betul, hari itu hari Kamis, hanya saja aku lupa kejadian itu pada bulan apa, mungkin sekitar bulan Mei 2012. Aku pulang sekolah dengan wajah kucel dan muka yang terlipat. Tahu kenapa? Aku juga masih ingat, waktu itu aku mendapat ulangan IPA dengan nilai yang kurang memuaskan dan harus remidi, dan saat itu juga harus remidi Biologi. What the hell! Tidak biasanya aku remidi pelajaran itu. Ya aku akui, aku memang kurang maksimal belajarnya, sih. Soalnya ada tugas kelompok Bahasa Inggris yang harus aku kerjakan bersama beberapa temanku. Ah ya sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur.
          Waktu aku mau pulang dan sudah melangkah keluar pintu dekat lobby sekolah, ada seseorang yang menepuk pundakku. Sudah kuduga ini pasti ketua kelasku, kelas 8A, Tristan namanya. Dia memang sering memanggil orang dengan menepuk pundak orang yang akan dia panggil. Apa banget.
          “Eh Rat, kamu dipanggil tuh sama Pak Ramli, disuruh nemuin beliau di ruang guru sekarang,” kata Tristan sambil menunjuk ruang guru yang berada di dekat lobby sekolahku. Ya, disitulah ruang guru di sekolahku.
          “Hah? Kenapa?”
          “Nggak tau, pokoknya tadi Pak Ramli bilang kamu disuruh ke ruang beliau sekarang…”
          “Oh oke, Tan…”
          Segera saja aku melangkah masuk ke ruang guru. Kenapa ya aku dipanggil Pak Ramli? Apa gara-gara aku remidi Biologi tadi? Ya sudahlah, aku segera menemui Pak Ramli yang sedang asyik dengan laptop Acer-nya.
          “Maaf, Pak, Bapak manggil saya?” sapaku sopan.
          “Ya, Ratri.”
          “Ada apa ya, Pak?”
          “Masih nanya ada apa? Kamu ini gimana sih? Jelas-jelas tadi kamu remidi Biologi! Nggak biasanya kamu dapet nilai Biologi 73! Kamu tau KKMnya? 75! Biasanya kamu dapet 80 lebih. Ada apa sebenarnya?” tanya Pak Ramli, guru Biologi yang terkenal killer itu menginterogasiku. Huh, kuakui aku sempat kaget karena nada bicaranya yang tiba-tiba meninggi itu.
          “Em… Maaf, Pak, saya memang kurang belajar, soalnya semalam saya harus kerja kelompok untuk tugas Bahasa Inggris,” jawabku gugup.
          “Halah, alibi kamu! Ya sudah, yang penting tadi kamu jujur. Lain kali belajar lebih giat! Sekarang kamu boleh pulang!” tegas guru berkacamata plus itu.
          “Mm… Baik, Pak, saya akan belajar lebih giat lagi. Permisi, Pak,” sahutku sembari undur diri.
          Hah, hari ini sial bagiku. Payah banget deh. Tadi aku memang tidak bisa mengerjakan ulangan Biologi karena aku memang kurang belajar. Kena semprotan Pak Ramli pula. Hufft. Tapi tetap saja siang itu kuakhiri dengan wajah kecut. Akhirnya kuputuskan untuk pulang dan melupakan semuanya.
Dari sekolah, aku naik becak sampai Shelter Mandala Krida. Bukan malas sih sebenarnya, tapi karena aku sedang tidak ada mood, maka kuputuskan naik becak. Setelah beberapa menit, sampai juga aku disana.Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju pintu masuk Shelter Mandala Krida. Tiba-tiba, seorang petugas TJ berjilbab–umurnya kira-kira 25-an–yang tentunya sudah hafal denganku–tersenyum ramah kepadaku. Aku, dengan raut wajah yang masih sama (baca: kucel), memaksakan senyum karena ingin membalas senyum si mbak tadi.
          “Mbak, saya mau naik jalur 2A ya, Mbak. Turun di Terminal Concat,” kataku sambil menyodorkan uang Rp 3.000,00 (karena ongkos naik TJ untuk 1 orang Rp 3.000,00) kepada si mbak.
          “Oke Dek, seperti biasa,” sahutnya tersenyum.
          Setelah itu aku mulai duduk di kursi yang tersedia di halte tersebut. Walaupun halte tersebut tidak seluas halte di RS Bethesda atau halte di Terminal Concat, tapi halte itu nyaman, kok. Bahkan aku sudah hafal wajah-wajah petugas halte, termasuk si mbak berjilbab tadi. Enak lho tanya-tanya apapun ke petugas TJ. Hehe. Untuk mengusir kebosanan, aku biasanya baca koran atau majalah yang ada di halte itu.
          Kulirik arloji putih yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Pukul 13.45, lama banget. Padahal kayaknya tadi aku sampai sini 30 menit yang lalu. Perasaan lama deh, nggak biasanya sampai 30 menit gini, dan biasanya 5 sampai 15 menit, batinku. Tampaknya orang-orang disekitarku yang juga sedang menunggu bus juga merasakan hal yang sama. Lalu aku memberanikan diri bertanya kepada si mbak.
          “Mbak, kok tumben lama? Biasanya nggak selama ini kan?” tanyaku.
          “Iya Dek, soalnya ada pergantian driver di Shelter RS Hidayatullah,” jelas si mbak.
          “Oh… Kira-kira berapa menit lagi ya, Mbak?”
          “Sekitar 10 menit lagi Dek, bisnya udah sampai Shelter Kusumanegara kok, bentar lagi.”
          Ya sudah, daripada garing menunggu, lebih baik aku mendengarkan musik saja dengan earphone dan iPod yang kubawa. Lalu, beberapa menit kemudian…
          “Jalur 2A… Para penumpang yang ingin ke Kridosono, RS Bethesda, RS Dr. Yap, RS Panti Rapih, UNY, Sanata Dharma, Gejayan, Terminal Condong Catur, Monjali, maupun Terminal Jombor, harap mempersiapkan diri…” seru si mbak, menandakan busnya sudah dekat. Aku pun segera mempersiapkan diri. Setelah bus datang, kulihat suasana dalam bus dari luar, ternyata busnya tidak terlalu ramai. Berarti aku bisa duduk dengan nyaman dan tidak perlu berdiri.
          Segera setelah aku duduk di kursi bus paling belakang yang menghadap ke depan, aku segera memasukkan earphone dan iPod ke dalam tas. Tiba-tiba kulihat diluar turun hujan. Pertama gerimis, lama kelamaan lumayan deras. Untung aku udah masuk bus. Terima kasih Tuhan, batinku. Tapi, ada sesuatu di dalam bus yang tak terduga. Aku melihat seorang laki-laki berkacamata, memakai seragam SMP (putih biru), sepertinya seumuran denganku (sama-sama kelas 8 maksudnya), dan setelah kulihat wajahnya ternyata……..
Aku masih mengerjap-ngerjapkan mata, tak percaya. Hah? Benarkah? Apa aku sedang bermimpi? Beberapa hari yang lalu aku juga melihatnya waktu aku bersama sepupuku di Gramedia Ambarukmo Plaza, dan dia sedang membaca sebuah buku–yang entah tentang apa–bersama salah satu temannya. Aku bahkan sampai tidak memikirkan bagaimana reaksi orang-orang yang duduk dalam bus melihat ekspresiku yang terlalu berlebihan itu. Orang yang duduk disebelahku pun menatapku aneh. Sudah kuduga pasti dia berpikir, ni orang ngapain sih, ngeliatin orang gitu banget. Tapi masa cowok berkacamata itu… DIA, dan sekarang aku melihatnya lagi, di bus?
DIA? Dia siapa? Mungkin kau penasaran siapa yang aku maksud DIA. DIA itu… adalah… orang yang kusukai waktu aku SD. Jadi begini ceritanya. Dulu, waktu aku duduk di bangku kelas 5 SD, sekolahku kedatangan murid baru. Namanya (duh jadi malu nih, haha), Nicholas Pandu Dewangkara (aku masih ingat nama lengkapnya, hehe…), panggilannya Pandu. Dia itu pindahan dari manca lho. Dia itu pindahan dari sebuah SD di Seoul, Korea. Aslinya dia orang Jogja, tapi dia pindah ke Negeri Ginseng itu sejak umur 6 tahun dan menetap disana karena pekerjaan ayahnya yang mengharuskannya tinggal di Korea. Aku tahu itu dari seorang temanku yang kebetulan sekelas dengan dia. Sebenarnya ketika awal-awal dia masuk sekolah itu aku tidak terlalu mengacuhkan dia. Saat itu aku hanya berpikir, oh ada anak baru dari manca, tapi orang Indonesia.
Tapi, aku mulai cari tahu tentang dia sejak kelas 6, tepatnya sejak teman-temanku yang sekelas dengan dia maupun teman-teman sekelasku tiba-tiba saja menjodohkanku atau bahasa gaulnya aku dipacok-pacokin dengan dia, gara-gara nilai ulangan IPS, Bahasa Inggris dan PKn kita sama. Lalu karena namaku dan namanya selalu ada di daftar nama kelompok les yang sama, yaitu kelompok 1 (les tambahan kelas 6 SD). Bahkan, guru-guru kelas 6 pun ikut-ikut macok-macokin. Halah. Njuk ngopo? Awalnya aku tidak peduli terhadap itu semua. Tapi lama kelamaan, aku… ehm… mulai…. yap, menyukainya. Entah kenapa. Kata sahabatku, Hani, kalau dipacok-pacokinseperti itu nantinya bisa benar-benar jadi suka. Yah, kurasa Hani benar. Jleb rasanya. Aku mulai cari tahu tentang dia. Kata temanku yang sekelas dengannya, dia itu tipikal cowok pintar yang, yah, tau sendiri lah, cuek sama cewek. Dia itu jago banget yang namanya pelajaran eksak, ya macam Matematika atau Fisika gitu. Dia juga pintar menggambar. Temanku itu bilang lagi, kalau bapaknya itu orang teknik dan ibunya dokter. Ya sudah, menurun ke anaknya. Ya walaupun sebenarnya dia tidak seganteng aktor-aktor Korea seperti Kim Soo Hyun, Kim Hyun Joong, Song Joong Ki atau Lee Min Ho. Tapi kuakui, dia manis, sih. Haha. Tapi entah kenapa, aku jadi tertarik dengan cowok pintar. Bahkan dulu waktu pengumuman kelulusan di SD, dia mendapat NEM tertinggi di SD-ku, lho. Aku bahkan masih ingat berapa NEM-nya, yaitu 27,60, dan kau tahu, nilai Matematika-nya 10! Keren. Andai saja aku mendapatkan nilai sebagus itu. Tapi dulu kami tidak sering mengobrol. Hanya pada waktu tertentu saja, seperti saat kami sama-sama menunggu jemputan, karena kebetulan saat itu teman-teman kami yang lain tidak ada (yang ada hanya adik kelas), sehingga kami tidak perlu malu… Kau tahu, dari salah satu temanku, aku tahu bahwa sekarang ini dia sudah menjadi siswa SMP N 5 Yogyakarta alias Pawitikra, SMP terfavorit di Jogja, yang pastinya berisi orang-orang berotak encer.
Oke, kembali ke kejadian di bus itu. Oh, ternyata dia tidak sendirian. Dia bersama sekitar 4 orang temannya. Sampai beberapa saat kemudian kenek bus (yang ternyata mbak-mbak juga), ngobrol bareng 5 orang itu. Aku bisa mendengar pembicaraan mereka karena aku duduk tidak begitu jauh dari mereka.
“Wah, mas-masnya dari mana nih? Kok pada bawa soal-soal gitu? Hayo, habis tes ya?” tanya kenek bus itu. Sok akrab banget nih mbak-mbak sama berondong, pikirku sambil tertawa kecil.
"Tes apa, Mbak? Mbak-nya sok tau, deh. Haha,” sahut salah satu teman Pandu yang berkulit putih, sepertinya dia Chinese.
“Bukan tes, Mbak, tapi simulasi olimpiade, hehe,” timpal cowok yang berkulit hitam dan berkacamata.
“Wah wah, ni mas-masnya pinter-pinter ya. Mau pada olimpiade, hehe. Emangnya olimpiade apa nih?” sahut si mbak kenek. Mbaknya kepo deh, batinku.
“Ah nggak juga, kok, Mbak. Baru simulasi kok, hehe. Olimpiadenya aja masih sebulan lagi, kok. Olimpiade Fisika, Mbak,” kata cowok Chinese itu.Pandu kok nggak ngomong, sih? Mana cuma senyum-senyum nggak jelas sama salah satu temennya, lagi, batinku gregetan sendiri.
“Wah, Fisika? Keren tuh! Tingkat apa?”
“Tingkat Provinsi DIY, Mbak. Kalo kita menang, kita bakal ngewakilin Jogja ke tingkat nasional. Doain, ya, Mbak, hehe…”
“Wah, pinter-pinter semua nih mas-masnya. Iya deh, saya doain, semoga mas-masnya bisa menang dan mewakili Jogja, hehe. Ngomong-ngomong mas-masnya dari SMP mana nih?”
“Amin, Mbak, hehe. SMP 5, Mbak.”
“Wah, pantes aja, nggak heran saya. Sukses ya buat mas-masnya! Pada mau turun mana, nih?”
“Hehe, makasih, Mbak. Mau turun shelter depan sekolah, dong, Mbak, haha…”               Shelter depan sekolah? Berarti Shelter Kridosono, batinku.
“Okedeh…”
Akhirnya obrolan itu pun berhenti. Tidak terasa bus kami sudah mau sampai di Shelter Kridosono, karena sekarang kami berada di Jalan Jembatan Layang Lempuyangan. Itu artinya sebentar lagi mereka turun. Setelah mendengar obrolan itu, aku berpikir, ya biasalah anak SMP 5, pintar semua. Pandu pastinya termasuk golongan anak-anak SMP 5 yang sering ikut olimpiade. Tambah kece aja dia, batinku.
“Yak, sebentar lagi kita akan sampai di Shelter Kridosono, SMP 5… Para penumpang yang akan turun, dimohon mempersiapkan diri, jangan sampai ada barang yang tertinggal…” suara si mbak kenek itu mengagetkanku saat aku sedang melamunkan Pandu bersama teman-temannya. Beberapa detik kemudian, busnya sudah sampai di Shelter Kridosono, dan… Pandu turun bersama teman-temannya disana. Tapi sebelum turun, Pandu sempat tersenyum singkat padaku. Itu bukan GR belaka. Bahkan anak SD–cewek–sepertinya kelas 6 SD–yang duduk disebelahku pun juga merasakan kalau dia tersenyum padaku tadi.
 “Wah mbaknya kenal sama mas-mas kece dari SMP 5 tadi, ya? Pantesan salah satu dari mereka ngajak senyum. Ciyee…” kata anak itu pelan.Ini anak sok akrab juga ya. Kenal aja nggak, batinku sambil tertawa.
“Ih sok tau deh, nggak kok, hehe,” sahutku, jaim.
Yah, itulah pengalamanku dari rutinitasku yang serba biasa itu. Tuh, kan, jadi KSBB. KSBB itu singkatan anak-anak sekarang, kepanjangannyaKelingan Sing Biyen-Biyen. Biasalah, anak zaman sekarang, sukanya buat singkatan, hehe. Nah, bagaimana rasanya jika kau bertemu cinta pertamamu? Setelah sekian lama tidak bertemu? Beberapa waktu yang lalu memang aku sempat bertemu dengannya, sih. Padahal dulu sejak masuk SMP aku sudah bisa melupakannya dan tidak lagi memikirkannya. Ketika bertemu dia di Gramedia Amplaz beberapa waktu lalu pun perasaanku biasa saja. Tapi sekarang, setelah bertemu lagi, di TJ, di satu bus yang sama, kenapa rasanya rasa itu terulang lagi? Apalagi setelah dia tersenyum padaku. Ya kuakui, jantungku sempat memacu lebih kencang. Tapi sekarang sudah normal, kok, hehe...
Tidak terasa waktu berjalan, sampailah busnya di Terminal Concat. Aku melangkah turun dari bus. Aku merasa saat ini wajahku lebih gembira. Padahal kau tahu, kan, tadinya wajahku kecut? Ya, mungkin karena aku bertemu DIA, cinta pertamaku.
Sesampainya di rumah, aku bertanya-tanya. Berbagai pertanyaan muncul dalam otak dan hatiku. Kenapa jantungku masih dag-dig-dug saat melihatnya, padahal di waktu yang sudah-sudah, aku bisa melupakannya? Kenapa aku masih memikirkannya? Kenapa dia tersenyum padaku, padahal aku tahu dia jarang tersenyum, apalagi dengan cewek? Apa dia mempunyai perasaan yang sama denganku? Atau aku yang GR?
Daripada galau, aku curhat ke salah satu teman Gerejaku, yah, dia juga sahabatku, sih. Namanya Ratih (memang, namanya hampir sama denganku). Dia memang enak diajak curhat. Aku menelponnya dan curhat semua kejadian hari ini. Dia bilang–dengan logat Jawa yang medhok–yang jadi ciri  khasnya, “Kalau Tuhan mengizinkan 2 orang, cowok dan cewek berjodoh ya, Rat, setahuku, pasti bakal ketemu lagi. Dipertemukan lagi sama Tuhan, apapun caranya. Kayak pengalamannya Mbak-ku yang sulung itu. Mbak Rika kan sekarang udah married sama Mas Radit itu lho, tau kan? Dia bilang dulu dia sama suaminya itu pernah pacaran selama 5 tahun sejak SMA sampai kuliah, terus putus. 2 tahun kemudian, mereka ketemu di Kona Coffee Shop. Mereka hanya saling melempar senyum, ndak nyapa ataupun ngomong. Terus, 5 tahun kemudian, mereka ketemu lagi di acara nikahan temannya Mbak Rika, dan kebetulan Mas Radit diundang. Ternyata, diam-diam, mereka itu masih menyimpan rasa sayang satu sama lain. Ya, itu, sih pengalamannya Mbak-ku. Pengalamanmu tadi itu belum jadi jaminan, Rat, kalau dia benar-benar jodohmu. Tapi, kita kan ndak tau apa yang terjadi suatu hari nanti. Yowis, rasah mikir kuwi, sing penting kan saiki sekolah wae sing benerjarene mbokku sih, hehe. Cowok kan masih banyak to Rat? Move on lah… Daripada mikir orang yang belum tentu mikirin kamu?”
JEDER! Jleb. Aku tersadar omongan Ratih tadi. Benar. Belum tentu juga kan dia memikirkanku. Mungkin aku yang terlalu naif. Mungkin aku memang terlalu berlebihan. Ah. Mungkin Pandu sempat tersenyum padaku di bus tadi itu hanya sekadar formalitas; yakni bertemu dengan teman lama. Mungkin saja. MaybePerhaps. Percuma dong aku galau karena memikirkan orang yang belum tentu memikirkanku juga, ya, kan? Tapi tetap saja, aku bingung. Akankah kami bertemu lagi suatu hari nanti? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

**********

2 comments:

  1. aku hadirrrr!! cerpennya dibaca kalo lagi nggak butek yaaaa yang penting udah blogwalking dulu :")
    -ins lupa login

    ReplyDelete